Latar Belakang Keluarga
Abdurrahman Wahid, seorang tokoh fenomenal dengan gayanya yang unik
dan khas serta sepakterjangnya yang kontroversial. Ia akrab dipanggil
dengan nama Gus Dur: Gus merupakan nama kehormatan yang diberikan
kepada putra kiai yang berarti mas. Adapun nama lengkap Gus
Dur adalah Abdurrahman al-Dakhil1,
adapun nama Wahid diambil dari nama ayahnya Wahid Hasyim. Dalam
komunitasnya Abdurrahman Wahid dipandang sebagai “pangeran”
yakni cucu dari kian Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan dinisbatkan
sebagai pewaris kedua organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia.2
Setiap tanggal 4 agustus teman-teman dan keluarganya menghadiri pesta
ulang tahunnya. Entah disadari atau tidak oleh teman-temanya bahwa
tanggal itu bukanlah tanggal kelahirannya, ia sebenarnya dilahirkan
pada 4 sya’ban atau 7 september 1940. Gus Dur dilahirkan di kota
Jombang-Jawa Timur3
tepatnya di Denayar yaitu: dalam rumah kakek dari pihak ibunya kiai
Bisri Syansuri. Kota Jombang yang terkenal dengan daerah tapal kuda
yang merupakan basis pondok pesantren (kalangan Islam tradisonalis)
dan pusat warga nahdiyin.
Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara4
hasil pernikahan Wahid Hasyim dan Sholichah (putri Kiai Bisri
Syansuri). Wahid Hasyim adalah menteri Agama RI pertama5
rezim Soekarno dan aktif dalam panitia sembilan perumusan piagam
Jakarta.6
Adapun kakek Gus Dur adalah pendidiri NU yaitu KH Hasyim Asy’ari,
salah satu organisasi keagamaan Islam ternama dengan jumlah pengikut
terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Gus Dur hidup dalam setting
lingkungan pesantren (santri-sunni) yang terbiasa dengan
kehidupan agama, penuh dengan etika moral dan keterbukaan untuk
mengutarakan gagasan dan keinginan apalagi bagi seorang anak kiai:
apapun keinginannya harus dituruti oleh para santrinya. Paradigma
berpikir yang berkembang di kalangan warga NU saat itu cenderung
ortodok dan konservatif serta puritan, namun lain halya dengan Gus
Dur mempunyai kemampuan melebihi kemampuan orang biasa. Ia tidak
hanya melintasi komunitasnya tetapi ia mampu melewati batas agama,
budaya dan etnis sampai tidak ada sekat-sekat yang dapat membatasinya
dan jarang sekali tokoh seperti ini, bahkan ia sering mendapatkan
cercaan dan tudingan dari Islam garis keras dan kelompoknya sendiri.
Masa kanak-kanak Gus Dur dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik
kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan
Kiai Bisri Syansuri (pendiri pondok pesantren Denanyar). Berkat
bimbingan ibunya, Gus Dur pada usia 4 tahun telah mampu membaca al
Qur’an beserta ilmu tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan
pesantren yang terbiasa dengan kitab-kitab kuning yang berbahasa arab
tanpa sakal dan arti Indonesia maupun Jawa. Kemudian di usia 4 tahun,
Gus Dur tinggal bersama ayahnya di Menteng Jakarta Pusat, ketika itu
Wahid Hasyim dipercaya mengepalai Shumubu, semacam kantor ustusan
agama atas permintaan pemerintah Jepang.7
Sejak tinggal di Jakarta bersama dengan ayahnya, Gus Dur langsung
dibimbing oleh ayahnya dan sekaligus mendapatkan wawasan yang cukup.
Dan sejak inilah awal mula ia diperkenalkan dunia yang sangat berbeda
dari kehidupan pesantren yaitu: dunia perkotaan yang cukup
kosmopolitan. Belum lagi didukung oleh kehidupan Wahid Hasyim yang
mempunyai banyak relasi dengan berbagai lapisan masyarakat baik orang
pribumi maupun orang luar serta berbagai tokoh baik dari kalangan
agamawan, nasionalis, politikus maupun pemimpin komunis, -termasuk
Tan Malaka, Mohammad Hatta, anak muda bernam Munawir Sadzali (dari
kalangan mahasiswa) serta seorang Jerman Williem Iskandar Bueller
yang masuk Islam. Kemanapun ayahnya pergi Gus Dur selalu diajak,
sehingga Gus Dur sejak kecil sudah diperkenalkan dengan kehidupan
yang berbeda dengan lingkungan pesantren di mana ia dilahirkan dan
diasuh oleh ibunya. Mulai dari sini Gus Dur diperkenalkan dengan
orang-orang yang mempunyai berbagai ideologi dan latar belakang yang
berbeda dengan dirinya.
Wahid Hasyim sangat menyayangkan melihat cupetnya pikiran di kalangan
masyarakatnya oleh karena itu ia berharap banyak kelak anak-anaknya
lebih-lebih pada putra kesayangannya (Gus Dur) mempunyai pemahaman
yang mendalam dengan berharap nantinya anak-anaknya dapat meneruskan
perjuangan ayahnya. Karena keinginan yang tinggi maka Gus Dur sering
diajak dalam pertemuan-pertemuan ayahnya, dengan harapan mengenalkan
terhadap berbagai realitas dan masyarakat tanpa memilah-milah
golongan dan status sosial.
Latar Belakang Pendidikan Abdurrahaman Wahid
Gus Dur dilahirkan di tengah-tengah kehidupan pesantren yang penuh
nuansa etika, moral dan pendidikan agama. Dari sinilah awal
dasar-dasar pendidikan agama ditanamkan oleh Ibunya ketika baru
berusia 4 tahun, ilmu al Qur’an dan bahasa Arabpun telah dikuasai
meskipun belum lancar. Ketika menganjak usia 4 tahun Ia mengikuti
jejak perjuangan ayahnya di Jakarta dan ia dimasukkan pada sekolah
yang tergolong bonafit namun ia lebih menyukai kehidupan yang wajar
dengan memilih sekolah biasa saja. Gus Dur masuk Sekolah Dasar KRIS
Jakarta Pusat mulai kelas 3-4 tetapi kemudian pindah ke Sekolah Dasar
Matraman Perwari, Jakarta Pusat dekat rumahnya yang baru.8
Tempat Wahid Hasyim di Matraman sering dikunjungi tamu-tamu Eropa,
Belanda, Jerman dan kalangan aktivis mahasiswa serta berbagi lapisan
mayarakat. Dengan demikian Gus Dur sejak kecil telah diperkenalkan
dengan tokoh-tokoh besar, dan ayahnya selalu menganjurkan kepada
anak-anaknya untuk giat membaca tanpa membatasi buku apa yang dibaca.
Sebagian jenjang pendidikan formal Abdurrahman Wahid banyak
dihabiskan di sekolah-sekolah “sekuler”.
Setelah ayahnya meninggal, Ibunya mengambil alih pimpinan keluarga
dan membesarkan enam anak-anaknya. Pada tahun 1954 Gus Dur
melanjutkan sekolah di SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama),
tinggal bersama keluarga Haji Junaidi (teman ayahnya dan seorang
aktivis Majlis Tarjih/Penasihat Agama Muhammadiyah) di Kauman
Yogyakarta dan untuk melengkapi pendidikan agama dan guna memperdalam
ilmu bahasa arab maka ia mengatur jadwalnya seminggu 3 kali untuk
ngaji dengan Kiai Ali Ma’shum di pondok Al Munawir Krapyak. Gus Dur
adalah anak yang nakal dan bandel, waktunya dihabiskan untuk nonton
sepak bola dan film sehingga tidak ada cukup waktu untuk mengerjakan
pekerjaan rumahnya dan ujung-ujungnya ia harus tinggal kelas.
Baginya, pelajaran yang diterima di kelas dirasanya tidak cukup
menantang. Alih-alih, Ia menghabiskan waktu nonton sepak bola dan
membaca buku.
Meskipun kemapuannya dalam berbahasa Inggris sudah baik dan mampu
membaca tulisan dalam bahasa Perancis dan Belanda serta Jerman, namun
di Yogyakartalah kemampuan membacanya melesat jauh dan melahab banyak
buku antara lain Das Kapital (Karl Mark), What is To Be
Done (Lenin), dan mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan
Aristoteles serta ia tertarik dengan ide Lenin tentang keterlibatan
sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism
(kekiri-kirian penyakit kekan-kananan) dan dalam Little Red
Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).9
Dengan membaca buku dan berbagai tulisan apa saja yang ditemukan maka
cakrawala pemikirannya akan semakin luas.
Setelah menamatkan SMEP 1957, Kiai Bisri Sansuri memindahkan Gus Dur
–hal ini disebabkan hobinya menonton film yang tidak ketulungan-
untuk mondok di Magelang dan berada dalam asuhan dan bimbingan Kiai
Khudhori pengasuh pondok pesantren Tegalrejo.10
Berbeda dengan santri biasa yang menyelesaikan pelajaran selama 4
tahun tetapi dengan kecerdasan yang dimiliki, Gus Dur mampu
menyelesaikan pelajaran dengan waktu yang relatif cepat yaitu: dalam
2 tahun saja. Dari Kiai Khudhorilah ia banyak belajar dunia mistik
dan tasawuf.
Pada tahun 1959 Gus Dur dipangil oleh pamanya: Kia Haji Fatah, untuk
membantu mengelola Pesantren Bahrul Ulum11,
Tambak Beras Jombang sampai tahun 1963. Selama kurun waktu itu ia
menyempatkan belajar secara teratur dengan kakeknya: Kiai Bisri
Sansuri dan mendapatkan bimbingan dari Kiai Wahab Chasbullah. Pada
tahun pertamanya di Tambak Beras, ia mendapatkan kepercayaan untuk
mengajar di pondok ini dan sekaligus dipercaya menjadi kepala sekolah
modern yang dibangun dalam area pondok pesantren. Untuk mengisi waktu
libur kadang-kadang Gus Dur pergi ke Yogyakarta dan tinggal di rumah
Kiai Ali Maksum untuk belajar agama.12
Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid tertarik mengambil beasiswa untuk
belajar di Universitas “al Azhar” Kairo (Mesir). Namun kecewa
nampak dalam dirinya karena perlakuan kampus yang memasukannya di
kelas pemula, bersama para calon mahasiswa yang belum mempunyai
pengetahuan tentang bahasa Arab bahkan ada yang sama sekali tidak
tahu abjad Arab, apalagi menggunakan dalam percakapan. Karena rasa
kecewa atas perlakuan ini, hampir sepanjang tahun 1964 ia tidak masuk
kelas, ujung-ujungnya gagal naik kelas karena waktunya banyak
dihabiskan untuk nonton bioskop, sepak bola dan mengunjungi
perpustakaan -terutama perpusatkaan American University Library-
serta waktunya habis di kedai-kedai kopi untuk diskusi.
Keberadaannya di universitas al-Azhar merupakan suatu kekecewaan
baginya, namun sebaliknya kota Kairo baginya sangat mempesona dan
menyenangkan. Kota Kairo banyak memberikan kebebasan berpikir dan
dari al-Azharlah Muhammad Abduh, seorang perintis gerakan modernisme
Islam yang progresif berasal.13
Dari al-Azhar Ia pindah ke Universitas Baqdad di Irak dan
memilih fakultas sastra. Gus Dur mempunyai jadwal yang padat
dibandingkan ketika ia berada di Mesir sehingga ia tidak lagi bebas
berjalan-jalan semaunya sendiri dan mau tidak mau ia harus mengurangi
kebiasaan tidak mengikuti kuliah secara teratur, karena kehadiran
merupakan hal wajib. Baqdad merupakan bagian dunia intelektual yang
kosmopolit membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan dan mulai
tahun 60-an Universitas ini menjadi Universitas bergaya Eropa.
Ironisnya, banyak dosen favoritnya yang berasal dari Kairo pindah ke
Baqdad karena kota Baqdad memberikan kebebasan berpikir secara
terbuka dan menjanjikan gaji yang lumayan besar. Meskipun jadwal yang
padat tetapi Gus Dur masih sesekali menyempatkan waktu untuk nonton
bioskop dan mengikuti diskusi di pinggir sungai Tigris sambil minum
kopi.
Perjalanan Organisasi Agama, Sosial, Budaya dan Politik serta
bidang pendidikan
Jarang ditemukan seorang tokoh sekaliber Abdurhaman Wahid, di satu
sisi ia adalah seorang kiai (agamis) namun di sisi yang lain ia penuh
dengan rasa humor, ceria, kritis yang terkadang sangat kontroversial
dengan cara-caranya dalam menghadapi kawan dan lawan dan tidak jarang
membuat lawannya kesal dan cengkel atas tingkah laku yang
dikakukannya. Dengan kehumoran, kekritisan dan ide cemerlang bahkan
kontroversial serta kemampuannya dalam beretorika membuat banyak
orang kagum dan banyak dari mereka tidak mengerti, tetapi ia tetap
menarik. Sehingga ia mudah beradaptasi dengan orang yang berada di
sekitarnya tanpa memedulikan status sosialnya.
Dengan latar belakang pendidikan pesantren tradisional yang kaya akan
budaya dan hasanah ilmu Islam klasik, didukung oleh pendidikan timur
tengah yang kosmopolitan dan perjalannya di Belanda serta
kemampuannya dalam melobi dan pergaulannya yang tidak membeda-bedakan
status agama, etnik, ras membuat ia banyak diterima oleh berbagai
kalangan. Namun yang paling menarik dari tokoh ini adalah
pemikirannya yang liberal, progresif, inklusif, egaliter serta
keseriusannya dalam menegakkan demokrasi, keadilan, membela hak asasi
manusia, meletakkan kepentingan rakyat dan bangsa di atas segalanya
serta tidak kalah pentingnya untuk selalu melakukan pembelaan
terhadap kaum minoritas yang tertindas.
Pada tahun 1971 Gus Dur kembali ke Jombang dan terjun ke dunia
pendidikan dengan menjadi Dosen serta dipercaya menjabat Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY yang
sekarang dengan nama IKAHA), sekaligus menjadi sekretaris pondok
pesantren Tebuireng milik pamanya, Kiai Haji Yusuf Hasyim.14
Selain menjabat sebagai ketua persatuan mahasiswa ketika studinya di
timur tengah, ia juga aktif menulis artikel, esai, dan kolom di media
masa serta bekerja di kantor kedutaan Indonesia di Mesir. Begitupun
tatkala ia menjadi dosen di Jombang sering mengisi seminar, sarasehan
dan menulis untuk berbagai majalah serta ikut memprakarsasi
berdirinya Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Mayarakat (P3M)
bersama dengan beberapa kiai dan aktifis muda NU seperti Masdar Farid
Mas’ud.
Karena keaktifannya dalam P3M maka ia sering bolak-balik
Jombang-Jakarta untuk mengurusi LSM dan ia pun memutuskan
meninggalkan pekerjaannya sebagi dosen dan menetap di Ciganjur dan
mendirikan pondok pesantren. Pada tahun 1981 ia diangkat sebagai
Wakil Katib Awwal syuriah PBNU menggantikan kakeknya Kiai
Bisri Sanyuri.
Selain itu Ia sangat mengandrungi budaya lokal, ilmu pewayangan,
cerita silat, sepak bola dan nonton film. Karena kecintaanya pada
dunia seni maka ia diangkat menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) pada tahun 1983 dan juga diangkat menjadi ketua Festival Film
Indonesia (periode 1986-1987). Ia memang tergolong kiai yang aneh dan
“nyeleh”, apalagi ia berasal dari kaum Nahdiyin yang tabu
akan dunia film. Pada tahun 1984 muktamar ke-27 Situbondo menetapkan
Gus Dur sebagi ketua tanfidziah PBNU dan dipercaya lagi menjadi ketua
PBNU untuk muktamar ke- 28 tasikmalaya dan muktamar ke-29 Yogyakarta.
Tiga kali berturut-turut menjabat ketua PBNU menunjukkan ia seorang
kiai yang cerdas, progresif dan karismatik di kalangan warga Nahdiyin
khususnya kaum muda NU. Gus Dur mempelopori agar NU kembali ke
kandangnya (NU bukan lagi organisasi politik namun tidak lebih
sebagai lembaga keagamaan dan tidak melarang jama’ahnya
berpolitik). Bagi kalangan muda NU, Gus Dur dianggap sebagai tokoh
yang mampu membebaskan dari ortodoksi dan konservatisme keagamaan,
yang sebagian besar ada pada kalangan tua Nahdiyin. Banyak kalangan
yang menaruh harapan besar dengan terpilihnya Gus Dur menjadi ketua
PBNU, kemampuannya untuk menjembatani kalangan muda dan tua serta
hubungan NU dengan pemerintah dan LSM. Selain itu dengan ide–idenya
yang cemerlang dan progresif mengilhami generasi muda NU untuk
progres.
Pada tahun 1990 ICMI menawari Gus Dur untuk masuk dalam lembaga ini,
namun ia menolak dan justru mendirikan forum demokrasi, dan menuding
ICMI sebagai lembaga bikinan penguasa yang berbau sektarian. Forum
Demokrasi merupakan organisasi yang bertujuan menegakkan demokrasi
dan pluralisme. Keanggotaan forum ini tidak terikat dan anehnya lagi
sebagian besar anggotanya bukan dari kalangan muslim dan bukan NU,
malah kebanyakan dari mereka adalah orang protestan, katolik, dan
sebagian besar mempunyai latar belakang sosialis.
Karena kedekatannya dengan kalangan non muslim dan LSM serta
komitmennya terhadap perjuangan penegakan demokrasi dan toleransi
dalam kehidupan beragama di Indonesia sehingga ia mendapatkan
kepercayaan sebagai presiden WCRP (World Council for Religiuon and
Peace), anggota dewan pembina dan pendiri pusat Simon Perez
untuk perdamaian (Simon Perez Peace Centre) serta
penasehat International Dialogue Foudation on Perspective Studies
of Syariah and Seculer Law di Den Haag, Belanda. Tidak
ketinggalan pada 31 agustus 1993 sebuah majalah “Nobel Asia”
Philipina memberikan penghargaan Ramon Magsaysay kepada
Abdurrahman Wahid. Keith Loveard dan Dirk Vlasblon yang merupakan
koresponden majalah Asiaweek di Jakarta memasukkan Abdurrahman
Wahid sebagai tokoh terkuat di Asia pada urutan ke-24 (1996) dan 20
(1997).
Keseriuannya dalam penegaan demokrasi dan pembelaan terhadap kaum
minoritas semakin kelihatan nyata. Hal ini nampak jelas atas tindakan
Gus Dur pada awal 90-an yang mengkritik atas kebijakan-kebijakan
rezim Soeharto yang tidak demokratis dan otoriter. Pada tahun 1998
bertempat di kediaman Gus Dur tokoh-tokoh reformis yaitu: Megawati,
Amin Rais, Sultan Hamengu Buwono X dan Gus Dur untuk membicarakan
gerakan reformasi menghasilkan piagam Ciganjur. Dalam pertemuan ini
ada komitmen untuk menegakkan demokrasi dan mewakili aspirasi rakyat
untuk menggulingkan pemerintahan yang sah demi sebuah perbaikan
terhadap Indonesia.
Rezim soeharto runtuh dan pesta demokrasi mulai dikumandangan dengan
ditandai munculnya partai-partai politik sebagai wujud kebebasan
berorganisasi dan berpendapat di depan umum. Partai Islam bermunculan
dan tidak ketinggalan Gus Dur mendeklarasikan partai kebangkitan
bangsa (PKB) yang banyak didukung oleh kalangan NU. Kemudian pada
pemilu tahun 1999 ia terpilih menjadi presiden mengalahkan rivalnya
Megawati Sukarno Putri. Keberhasilannya duduk dikursi kepresidenaa
tidak lepas dari usaha Amin Rais dari poros tengah.
Karya-karya Intelektualnya
Gus Dur secara kelembagaan tidak pernah mendapatkan ijazah
kesarjanaan namun ia seorang yang cerdas, progresif dan cemerlang
ide-idenya. Tetapi ia telah membuktikan bahwa ia adalah seorang yang
cerdas lewat idenya yang cemerlang dan kepiaweannya dalam berbahasa
dan retorika serta tulisan-tulisanya di berbagai media massa,
majalah, esai, dan kegiatan-kegiatan seminar, sarasehan serta
buku-buku yang telah diterbitkan antara lain:
- Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979)
- Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981)
- Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 1997)
- Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1998)
- Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999)
- Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999)
- Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001)
Dari berbagai tulisannya baik buku, makalah dan esai-isai kompas
tahun 90-an menunjukkan tingkat intelektualnya. Dengan bahasa yang
sederhana dan lancar, bahkan dalam penyampaian lisanpun, Gus Dur
diakui sangat komunikatif. Sebagaimana dikatakan Greg Barton meskipun
Gus Dur tidak mengenyam pendidikan –tidak memiliki gelar
kesarjanaan- Barat namun berbagai tulisannya menunjukkan ia seorang
intelektual progresif dan jarang sekali dijumpai foot note dalam
berbagai tulisannya. Hal ini dikarenakan kemampuannya yang luar biasa
dalam memahami karya-karya besar tokoh-tokoh dunia (pemikir dunia
seperti: Plato, Aristoteles, Karl Max, Lenin, Max Weber, Snouck
Hugronje, Racliffe Brown, dan Milinowski). Selanjutnya karya-karya
tersebut dieksplorasi secara kritis dan dikolaborasikan dengan
pemikiran-pemikiran intelektual Islam dalam memunculkan ide-ide
pemikirannya.15
Paradigma Pemikiran
Siapa yang tidak kenal dengan Gus Dur?. Sosok yang unik penuh ide
kontroversial, dengan metode zig zag yang membuat kebanyakan orang
binggung dan kelabakan. Idenya tidak dapat dicerna dengan menggunakan
satu sudut pandang saja. Semua ide dan manuvernya butuh interpretasi,
bahkan secara ekstrim dianologikan sebagai “kitab”16
yang butuh penafsiran. Seperti yang dikatakan Cak Nur (Nur Cholish
Madjid) yang kenal Gus Dur sejak masih menjadi mahasiswa -kebetulan
keduanya berasal dari Jombang- sejak muda Gus Dur adalah orang nekad.
Ia selalu keluar dari batas kemampuaannya dan tidak pernah puas
dengan jalan yang pasti dan aman.17
Jangankan kita, tokoh sekaliber Nur Cholish Madjid atau Azyumardi
Azra pun merasa terengah-engah dan kesulitan memahami sepak
terjangnya, mulai dari sikap, tindakan, ucapan dan pendapatnya baik
mengenai politik, budaya, keagamaan atau respon terhadap realitas
yang ada sehingga Cak Nur menyebut Gus Dur sebagai rahasia Tuhan yang
ke empat setelah jodoh, kematian dan rizki. Bahkan Azyumardi Azra
yang menyebut sebagai salah satu dari delapan keajaiban Tuhan.18
Untuk dapat memahami pemikiran Gus Dur Greg Barton lebih cenderung
melihat pada keyakinan religius dan kehidupan batiniahnya19
bukan berarti mengenyampingkan kehidupanya secara makro. Latar
belakang pondok pesantren -penuh nilai-nilai Cultural- di mana ia
mulai tumbuh dan berkembang juga mempengaruhi pemikirannya. Dalam
konteks ini Abdurrahman Wahid tidak sekedar menggunakan produk-produk
pemikiran Islam tradisonal sebagai hasil final tetapi lebih
menekankan pada penggunaan metodologi dalam kerangka pembuatan
sintesis untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab problem
sosial aktual.
Di samping kehidupan pesantren, ia juga diperkenalkan dengan
kelompok-kelompok sosial yang lebih luas. Pendidikan dunia Timur
Tengah yang kosmopolitan –terutama di Bagdaq yang bercorak sekuler
dan liberal- secara langsung ikut mewarnai corak pemikirannya.
Meskipun secara formal ia tidak belajar di Barat, tetapi sejak muda
ia terbiasa dengan pemikiran-pemikiran barat. Oleh karena itu ia
lebih siap bergaul dengan wacana-wacana besar pemikiran barat dan
keislaman, dan bahkan kedua sumber tersebut (Islam dan Barat)
dikombinasikan secara kritis-dialektis sebagai basis yang kemudian
membentuk pemikirannya.20
Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai LSM dan mudah bergaul dengan
komunitas heterogen dari berbagai karakter budaya, etnis, dan agama
dengan ideologi yang berbeda-beda –dari yang konservatif,
fundamental, liberal, sampai pada level sekuler sekalipun.21
Hal ini secara signifikan mempengaruhi pola pikir dalam melihat
realita.
Sedangkan AS Hikam, seorang peneliti LIPI mengemukakan pola pemikiran
Gus Dur pada dasarnya dapat dipahami sebagai produk dari tiga
kepedulian ulama: pertama, rivitalisasi warisan Islam tradisonal
ahlussunnah wal jama’ah yang komitmen atas kemanusiaan
(insaniyah), antara lain adanya kepedulian yang kuat pada
kerukunan sosial (social harmony) dan sikap inklusif yang ada
dalam ajaram Islam. Kedua, wacana modenitas yang didominasi pemikiran
sekuler Barat dan semangat pencerahan (enlightenment). Gus Dur
tetap mengacu pada paham ahlussunah wal jama’ah untuk
menyikapi perkembangan modern dengan sikap terbuka dan kritis untuk
mencari titik temu antara keduanya. Modernitas tidak disikapi dengan
kronfontatif tidak seperti apa yang dilakukan banyak cendikiawan
Islam, tetapi secara akomodatif guna menemukan titik temu yang
bermanfaat memecahkan masalah umat, tanpa harus meningalkan Islam
tradisional. Ketiga, Gus Dur selalu berusaha pencarian jawaban atas
tantangan yang dihadapi umat Islam bangsa Indonesia di tengah
perubahan yang amat cepat dari proses globaliasi dan modernisasi.22
Greg Barton, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi memasukkan Abdurrahman
Wahid sebagai Neo-modernis23
Islam.24
Barton menemukan tema yang dominan dalam pemikiran Gus Dur yaitu tema
humanitatianisme liberal.25
Tema liberal secara fundamental mendapat tempat yang besar dalam
pemikiran Islam Abdurrahman Wahid tanpa harus meninggalkan prinsip
Islam tradisional26
tetapi mensinsentesa keduanya.
1
Ad-Dakhil yang berarti “penakluk” diambil dari pahlawan dari
Dinasti Umayyah yang berhasil menaklukkan Spanyol adalah nama yang
berat untuk anak manapun.
2
Greg Barton, “Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam pengantar
Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. xxxvi
3
Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm.
25
4
Enam bersaudara itu adalah Abdurrahman Wahid (1940), Aishah (1941),
Salahuddin (1942), Ummar (1944), Chodijah (1948), Hasyim (1953).
5
Jabatan sebagai Menteri Agama sangat berlawanan dengan yang biasa
terjadi dalam ulama tradisional dan biasanya mereka enggan duduk
dalam pemerintahan tetapi yang terjadi sebaliknya.
6
Anggota Panitia sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta itu ialah
Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, H. Abikusno
Cokrosuyoso, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Ahmad
Soebardjo, KH. A. Wachid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin.
7
Greg Barton, Biografi…, hlm. 34
8
Ibid., hlm. 40
9
Ibid., hlm. 53
10
Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur: Demokrasi, Kemanusiaan,
dan Pribumusasi Islam (Yogyakarta: Kutub, 2003), hlm. 53
11
Ibid.
12
Greg Barton, Biografi…, hlm. 51
13
Greg Barton, Biografi…, hlm. 84
14
Zainal Arifin Thoha, Jagadnya…, hlm. 53
15
Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxiv
16
Lihat Gus Dur dalam Sorotan Cendikiawan Muhammadiyah
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 61
17
Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxxvii
18
Gus Dur dalam Sorotan…, hlm. 61
19
Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxv
20
Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan
dan Kenestapaan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1999), hlm.
70
21
Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxv
22
Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur…, hlm. 77-78
23
Merupakan gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif
terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Bahkan aliran ini
kritis terhadap dampak modernitas dan tidak melihat Barat sebagai
ancaman bagi dunia Islam namun antara keduanya saling mengisi. Neo-
modernis juga mengedepankan sikap inklkusif, toleran dan liberal
serta selalu melakukan kontekstualisasi ajaran Islam. Lihat dalam
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang
Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 121-122
24
Ibid.
25
Greg Barton, “Memahami…, hlm. xxx
26
Doktrin ahlusunnah wal jama’ah:
tawwatsuh (moderat),
tasamuh (toleransi),
dan i‘tidal (adil)
dalam berinteraksi dengan orang lain. Gus Dur
lebih menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj),
teori hukum (ushul
al fiqh) dan
kaidah-kaidah hukum (qowaid fiqhiyyah)
dalam kerangka pembuatan sintesis untuk menelorkan gagasan baru
sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual.
DOKUMENTASI HAK
MILIK:
Rumah Pendidikan
Sciena Madani
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !