Oleh: Faridatuzzahra As-salafiyyin
Bagi kebanyakan umat islam yang kurang faham sejarah, ada anggapan bahwa adat kebiasaan dan tradisi keagamaan yang dilakukan kalangan muslim tradisional adalah pencampur-adukan antara ajaran hindu-buddha dengan islam. Mereka itu, tanpa
didukung data sejarah sedikitpun menyatakan bahwa tradisi keagamaan tentang kenduri dan memperingati orang mati pada hari ke3, ke 7, ke 40, ke 100, dan ke1000, adalah warisan hindu buddha, padahal dalam agama hindu dan buddha tidakdi kenal kenduri peringatan orang mati pada hari ke 3, ke7, ke 40, ke 100, danke1000. [Agussunyoto.Sunanampel raja surabaya. Hal: 84]
Bertolak dari fakta sosio-kultural religiuspada masyarakat jawa pasca majapahit, sunyoto(1990) menyimpulkan, bahwa upacara peringatanorangmati
pada hari ke 3, ke7, ke 40, ke 100, danke1000 termasuk khaul adalah tradisi khas campa yang jelas jelas terpengaruh fahamsyiah [Agussunyoto.Sunan ampel raja surabaya. Hal: 86]
Mencermati tulisan ahli sejarah agus sunyoto ini, dapat di simpulkan bahwasannya acara tahlilan yangdi lakukan olehmayoritas muslim nusantara khususnya kaum nahdliyin, itu sudahdi kenal di masa majapahit (zaman wali songo).Akan tetapi di satusisi agus sunyoto tidak mengkaji sumber asal muasal sedekah orang meninggal pada hari ke 3, ke 7, ke
40, ke100, dan ke 1000 tersebut dari kitab para ulama yang ada, sehingga beliau
menyimpulkanbahwa tradisi tersebut merupakan ajaran yang bersumber darifaham syiah.
Padahal imam suyuti telah menjelaskandi dalam kitabnya Al hawi lil fatawi
Telah sampai kepadaku bahwasanya kesunahan bersedekah selama 7 hari itu telah berlangsung di mekah dan madinah hingga sekarang. Maka secara
dzohir di simpulkan bahwa sedekah tersebut tidak pernah di tinggalkan mulai dari zaman para sahabat sampai sekarang.Para generasi terkemudian(kholaf) telah mengambilnya secara turun temurun dari generasi terdahulu(salaf) sampai masa generasi
pertama[imam As-suyuti.Al hawi lil fatawi. 3/288]
Dan pembacaan tahlil yang di khususkan untuk orang orang yang telah meninggal juga menjadi tradisi turun temurun di hadramaut yaman tempat berdiamnyapara ahlul bayt dzurriyah nabi muhammad SAW. Sejarah tersebut dapat di temukan
dalam kitab Al ilmun nibros tulisan sayyidal habib Abdullohbin alwi bin hasanAl attos. Di kitab tersebutdi jelaskan:
Sebagian dari mereka(ahlul bayt di hadramaut) mengumpulkan para jamaah yang membaca tasbih dan tahlil sebanyak1000 kali, kemudian mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang orang yang telah meninggal dunia. [Al ilmun nibros. Hal: 5]
Jika di mekah dan madinah telah di kenal tradisi sedekah selama7hari, dandi hadramauttelah di kenal pembacaan tahlilan, maka ulama wali songo yang
merupakan keturunan ahlulbayt dari hadramaut tersebut, mengingat para ulama ahlul bayt
merupakan orang orang yang sangat menjaga kemurni anajaran yang didapat secara turun temurun yang bermuara kepada imam jakfar sodiq sampai kepada RosulullohSAW, dapat di pastikan wali songo telah membawa tradisi itu dari sana, bukan dari iran tempat yang menjadi pusat syiah.
Bukti bahwasannya wali songo merupakan keturunan para sadah hadramaut ialah,
bahwasannya sayyidahmad Rahmatulloh yang dikenal dengan sebutan sunan ampel merupakan putra dari sayyid ibrahim zainal akbar (asmoro) bin sayyid husainzainal akbar bin sayyid ahmad bin sayyid abdulloh bin sayyid abdul malik Azmatkhan beliau yanghijrah keindia bin sayyid Alwi ammil faqih (hadramaut) bin muhammad sohib marbathbinsayyid
Alwi kholi' qosam bin sayyid muhammad bin sayyid Alwi bin sayyid ubaidillah bin sayyid ahmad al muhajir ilallloh sampai kepada RosulullohSAW.
dengan begitu, tradisi yang terkenal dengan tahlilan merupakan perkawinan tradisi mekah dan madinah serta hadramaut. Yang kebetulan masyarakat jawa
kala itu sudah terbiasa dengan sesajen ala hindu. Sehingga tradisi tahlilan ini sangat mudah diterima oleh mereka setelah di sampaikan oleh para wali penyebar islam.
Wallohu a'lam bi nafsilamri wa haqiqotil haal..
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !