Ia tersenyum kecut ke arahku.
Pandagannya semakin tajam dan aku semakin tidak mengerti. Aku kembali
membuka lembaran-lembaran koran yang tercecer di ruang tamu. Semakin aku
banyak bergerak, tatapan matanya semakin menakutkan. Seperti singa yang
sedang kelaparan. Tiba-tiba terdengar bunyi pecahan piring, “pyaaarrr”.
Aku diam dan seketika itu pula lembaran koran yang ada di tanganku
begitu aja lepas jatuh kepada lantai.
“Dasar
bajingan”, kata-kata itu keluar dari mulutnya. Aku semakin tidak percaya
bisa-bisanya orang yang begitu lugu dan polos sampai mengucapkatan
kata-kata pedas semacam itu. Sehingga kupingku terasa sakit sekali,
seperti tamparan tangan yang melambai ke mukaku. “Hai, kenapa kau pandangi aku, bisa berhenti ngak”, ia bicara ke arahku. Sontak aku terdiam.
Tiba-tiba ia menghampiriku dan menjatuhkan beberapa piring di hadapanku. Pecahan piring sedikit mengenai kakiku. Akupun disuruh berjalan diatas pecahan piring. Bagaimana aku bisa berjalan. Jika pecahan itu sangat tajam. Dan ia pun mendorongku. Akupun terjatuh. Seketika itu pula tajamnya pecahan piring menancap di tubuhku.
Darah merah keluar dari tubuhku, tapi tidak sebegitu parah sehingga cucuran darah itu hanya beberapa detik keluar. Namun luka itu semakin terasa saat dia memukulkan piring ke arah kepalaku.
Rasa sakit semakin menghelanyuti tubuhku. Mau berkata tidak bisa, seolah mulut ini sudah di bungkam dengan kata-kata. Wajahnya begitu menakutkan, aku hanya bisa menahan rasa sakit.
Tangan dan kakinya menuju kearahku, begitu dekat. Perasaan semakin was-was, gimana nih. Kakinya menghantam tubuhkku. Aku terlempar beberapa centi meter. Karena tidak tahan akupun bangun. Walaupun sulit rasanya mengerakan tubuh, karena darah sudah keluar dan seluruh tubuh terasa ngilu.
“Bangsat”, kata itu muncul kembali dari mulutnya.
Dalam berdiriku ada diam. Bagaimana aku bisa menahan rasa sakit begitu tajamnya seperti mulut singa yang sedang kelaparan, begitu menakutkan dan mengerikan.
Aku di tuduh selingkuh. Ternyata ia marah karena aku berselingkuh dengan teman satu kerja di sekolahan negeri. Ia mendengar itu dari kata-kata tetangga yang mengatakan aku berjalan berdua dengan kepala sekolahku.
Aku tidak habis pikir, mengapa ia menuduhku yang belum ada bukti. Walau sebenarnya memang aku pernah beberapa kali jalan berdua dengan pak kepala sekolah. Namun itu dalam rangka tugas dinas pendidikan.
Aku berusaha menjelaskan dan memberikan keterangan sejelas-jelasnya kepada suamiku tercinta. Ia tetap pada pendiriannya dan tidak mempercayai kata-kata istrinya. Padahal belum pernah dia marah kepadaku, apa lagi sampai melakukan kekerasan.
Tanpa di sangka tubuhku telah terhunus pisau panjang yang ia keluarkan dari balik bajunya. Aku menjerit histeris dan tubuhku lemas tidak berdaya. Akupun terjatuh dan tersungkur, mataku semakin rabun melihat.
”Aku tetap percaya padamu”, kata-kata itu keluar dari mulutku
”Maaf kan aku istriku, aku telah khilaf aku tidak sadar diri melakukan perbuatan hina ini”. Ia baru menyadarinya setelah pisau itu menembus perutku.
Suamiku menggankat tubuhku dan berusaha melarikan aku ke rumah sakit. Ia mengeluarkan tangisan dan aku hanya bisa tersenyum. Hingga senyumanku terasa tidak memiliki daya.
Dunia ini bukanlah dunia yang di liputi dengan kegelisahan. Tapi sebuah kepastian yang bisa di rencanakan. Dengan rencana itu engkau dapat menjalankan sebuah kepastian. Karena sejatinya kegelisahan adalah amarah yang keluar dari diri yang tidak dapat di kendalikan oleh akal dan hati. Maka didiklah akal dan hati dengan perhatian yang serius dengan memusatkan kesadaran kolektif. Yaitu kesadaran illahiah dengan untain zikir dan doa.
Bukan semata kekerasan, amarah dan penyesalan. Akankah kehidupan ini bisa menjadi indah jika pikiran di kendalikan dengan rasa amarah. Bukankah rasa yang seharusnya di nikmati dengan kemanisan dan kelembutan.
Dan aku percaa bahwa amarah adalah fitrah
Dan aku percaya bahwa akal dan hati adalah anugerah
Dan aku percaya ada hukum keseimbangan
Seperti rotasi bumi mengelilingi matahari
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !